Bina Graha
Jakarta
Dibangun pada tahun 1969
Bina Graha
Bina Graha adalah gedung kepresidenan yang dibangun pada masa
pemerintahan Presiden Soeharto yang diprakarsai oleh Ibnu Sutowo,
Direktur Pertamina pada masa "Oil Boom" yakni devisa negara yang
meningkat karena kenaikan harga minyak dunia akibat embargo minyak atas
prakarsa Raja Faisal bin Abdul Aziz sebagai reaksi atas intervensi
Amerika Serikat pada Perang Arab-Israel 1973 (Perang Yom Kippur)
sehingga penerimaan atas hasil ekspor Minyak bumi meningkat. Menggunakan
arsitektur modern dengan interior tradisional dengan perabot berukiran
jepara.
Gedung ini digunakan oleh Presiden Soeharto sebagai ruang kerja
kepresidenan yang selanjutnya digunakan oleh Presiden B.J.Habibie dan
Presiden Abdurrahman Wahid. Letaknya di Jalan Veteran no 17. Saat itu
Istana Negara dan Istana Merdeka digunakan untuk upacara-upacara
kenegaraan, pelantikan, penerimaan duta besar negara sahabat serta
hal-hal yang bersifat seremonial kenegaraan lainnya. Pada masa
pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, gedung ini digunakan
sebagai museum.
Selanjutnya gedung ini digunakan sebagai kantor Wakil Presiden Jusuf
Kalla selain di Istana Wakil Presiden Republik Indonesia di Jalan
Merdeka Selatan.
Gedung berlantai II Bina Graha dibangun pada masa pemerintahan Soeharto.
Direktur Utama PT Pertamina Ibnu Sutowo adalah orang yang menggagas
pembangunannya. Pembangunan gedung seluas 2.955,30 meter persegi itu
dimulai pada tahun 1969 dan selesai tahun 1970. Kaca jendela gedung itu
tebal, antipeluru.
Letak Bina Graha (Jalan Veteran 17) di sebelah timur Istana Negara
menghadap Sungai Ciliwung. Gedung ini salah satu dari beberapa gedung di
halaman Istana Kepresidenan Jakarta. Gedung lain adalah Istana Merdeka
(menghadap Monas), Wisma Negara, dan Masjid Baiturrahim. Wartawan
peliput unjuk rasa yang sering terjadi di depan Istana Merdeka sering
menyebut Istana Negara.
Pada masa pemerintahan Belanda, wilayah tempat Istana Kepresidenan
berdiri bernama Rijswijk, wilayah yang meriah, tempat tinggal orang
Eropa. Pada masa itu, keluarga direktur jenderal kerajaan urusan
keuangan dan tanah bertempat tinggal di tempat itu. Keluarga itu lalu
menjual rumahnya kepada Raffles. Tetapi, Raffles tidak menempatinya.
Rumah itu terkenal dengan nama Raffles House. Tahun 1846, rumah besar
itu menjadi Hotel der Nederlanden. Tahun 1950-an menjadi Hotel Dharma
Nirmala.
Oleh Presiden Soekarno, tempat itu dijadikan Markas Cakrabirawa, pasukan
elite pengawal presiden yang kebanyakan unsurnya dari Brigade Mobil.
Tahun 1969, Ibnu Sutowo mengubah tempat itu menjadi Bina Graha. Hampir
30 tahun Soeharto berkantor di tempat itu.
Presiden BJ Habibie dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menggunakan gedung
itu sebagai kantor kepresidenan. Gus Dur membuat bagian belakang gedung
ini sebagai kantor biro pers dan tempat jumpa pers. Juru bicara
kepresidenan, seperti Wimar Witoelar, Yahya Staquf, dan Adhie
Massardhie, berkantor di tempat itu.
Pada masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, gedung itu
dijadikan museum dan sanggar seni. Sekitar 2.000 lukisan, patung, dan
barang seni berharga disimpan di tempat itu. Lukisan para maestro
Indonesia dan luar negeri disimpan di tempat itu, seperti karya Affandi,
Dullah, Sudjojono, R Bonet, dan Theo MeierWalter Spies. Lukisan
berjudul ”Kehidupan di Sekitar Borobudur Abad Ke-9” karya Walter Spies
(pelukis asal Jerman) bernilai sekitar Rp 9 miliar. Itu menurut Kepala
Bagian Museum dan Sanggar Seni Istana Adek Wahyuni, lulusan Sekolah
Tinggi Seni Rupa Indonesia ASRI Yogyakarta.
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Bina Graha
juga pernah dijadikan museum dan tempat sanggar seni, serta kantor
Penasihat Khusus Presiden dan Juru Bicara Kepresidenan, seperti Andi
Mallarangeng dan Dino Patti Djalal. Ketika menjadi salah satu staf
khusus presiden, Zannuba Arifah Chafsoh atau Yenny Wahid juga berkantor
di tempat itu.
Saat ini barang-barang seni sedang diangkut dari Istana Kepresidenan ke
beberapa tempat lain, seperti Gedung Agung Yogyakarta, Istana Bogor, dan
Istana Cipanas. ”Kalau tidak hati-hati memindahkan, lukisan para
maestro Indonesia dan luar negeri itu bisa rusak,”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar