Istana Tampaksiring
Tampaksiring, Bali
Dibangun pada tahun 1757
Nama Tampaksiring diambil dari dua buah kata bahasa Bali, yaitu tampak
(yang bermakna 'telapak ') dan siring (yang bermakna 'miring'). Menurut
sebuah legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali, nama itu
berasal dari bekas telapak kaki seorang Raja yang bernama Mayadenawa.
Raja ini pandai dan sakti, tetapi bersifat angkara murka. Ia menganggap
dirinya dewa serta menyuruh rakyatnya menyembahnya. Sebagai akibat dari
tabiat Mayadenawa itu, Batara Indra marah dan mengirimkan balatentaranya
untuk menghacurkannya. Namun, Mayadenawa berlari masuk hutan. Agar para
pengejarnya kehilangan jejak, ia berjalan dengan memiringkan telapak
kakinya. Dengan begitu ia berharap agar para pengejarnya tidak mengenali
bahwa jejak yang ditinggalkannya itu adalah jejak manusia, yaitu jejak
Mayadenawa.
Usaha Mayadenawa gagal. Akhirnya ia ditangkap oleh para pengejarnya.
Namun, sebelum itu, dengan sisa-sisa kesaktiannya ia berhasil
menciptakan mata air beracun yang menyebabkan banyak kematian bagi para
pengejarnya setelah mereka meminum air dari mata air ciptannya itu.
Batara Indra pun menciptakan mata air yang lain sebagai penawar air
beracun tersebut. Air Penawar racun itu diberi nama Tirta Empul (yang
bermakna 'airsuci'). Kawasan hutan yang dilalui Raja Mayadenawa denagn
berjalan di atas kakinya yang dimiringkan itulah wilayah ini dikenal
dengan nama Tampaksiring.
Menurut riwayatnya, disalah satu sudut kawasan Istana Tampaksiring,
menghadap kolam Tirta Empul di kaki bukit, dulu pernah ada bangunan
peristirahatan milik Kerajaan Gianyar. Di atas lahan itulah sekarang
berdiri Wisma Merdeka , yaitu bagian dari Istana Tampaksiring yang
pertama kali dibangun.
Istana Kepresidenan Tampaksiring berdiri atas prakarsa Presiden I
Republik Indonesia, Soekarno, sehingga dapat dikatakan Istana
Kepresidenan Tampaksiring merupakan satu-satunya istana yang dibangun
pada masa pemerintahan Indonesia.
Pembangunan istana dimulai taun 1957 hingga tahun 1960. Namun, dalam
rangka menyongsong kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN XIV
(ASEAN Summit XIV) yang diselenggarakan pada tanggal 7-8 Oktober 2003,
Istana Tampaksiring menambahkan bangunan baru berikut fasilitas -
fasilitasnya, yaitu gedung untuk Konferensi dan untuk resepsi. Selain
itu, istana juga merenovasi Balai Wantilan sebagai gedung pagelaran
kesenian.
Istana Kepresidenan Tampaksiring dibangun secara bertahap. Arsiteknya
ialah R.M Soedarsono. Yang pertama kali dibangun adalah Wisma Merdeka
dan Wisma Yudhistira, yakni pada tahun 1957. Pembangunan berikutnya
dilaksanakan tahun 1958, dan semua bangunan selesai pada tahun 1963.
Selanjutnya, untuk kepentingan kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT)
ASEAN XIV, yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 7-8 Oktober 2003,
Istana dibangun gedung baru untuk Konferensi beserta
fasilitas-fasilitasnya dan merenovasi Balai Wantilan. Kini Tampaksiring
juga memberikan kenyamanan kepada pengunjungnya (dalam rangka
kepariwisataan) dengan membangun pintu masuk tersendiri yang dilengkapi
dengan Candi Bentar, Koro Agung, serta Lapangan Parkir berikut Balai
Bengongnya.
Sejak dirancangnya / direncanakan, pembangunan Istana Kepresidenan
Tampaksiring difungsikan untuk tempat peristirahatan bagi Presiden
Republik Indonesia beserta keluarga dan bagi tamu-tamu negara. Usai
pembangunan istana ini, yang pertama berkunjung dan bermalam di istana
adalah pemrakarsanya, yaitu Presiden Soekarno. Tamu Negara yang bertama
kali menginap di istana ini ialah Raja Bhumibol Adulyadej dari Thailand,
yang berkunjung ke Indonesia bersama permaisurinya, Ratu Sirikit (pada
tahun 1957).
Menurut catatan, tamu-tamu negara yang pernah berkunjung ke Istana
Kepresidenan Tampaksiring, antara lain adalah Presiden Ne Win dari Birma
( sekarang Myanmar), Presiden Tito dari Yugoslavia, Presiden Ho Chi
Minh dari Vietnam, Perdana Menteri Nehru dari India, Perdana Menteri
Khruchev dari Uni Soviet, Ratu Juliana dari Negeri Belanda, dan Kaisar
Hirihito dari Jepang.
(Istana Kepresidenan RI , 2004, Sekretariat Presiden RI)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar