Presiden Megawati Soekarnoputri
Megawati Soekarnoputri
Masa Bakti 2001 -- 2004
Presiden Republik Indonesia ke-5, Megawati Soekarnoputri lahir di
Yogyakarta, 23 Januari 1947. Sebelum diangkat sebagai presiden, beliau
adalah Wakil Presiden RI yang ke-8 dibawah pemerintahan Abdurrahman
Wahid. Megawati adalah putri sulung dari Presiden RI pertama yang juga
proklamator, Soekarno dan Fatmawati. Megawati, pada awalnya menikah
dengan pilot Letnan Satu Penerbang TNI AU, Surendro dan dikaruniai dua
anak lelaki bernama Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama.
Pada suatu tugas militer, tahun 1970, di kawasan Indonesia Timur, pilot
Surendro bersama pesawat militernya hilang dalam tugas. Derita tiada
tara, sementara anaknya masih kecil dan bayi. Namun, derita itu tidak
berkepanjangan, tiga tahun kemudian Mega menikah dengan pria bernama
Taufik Kiemas, asal Ogan Komiring Ulu, Palembang. Kehidupan keluarganya
bertambah bahagia, dengan dikaruniai seorang putri Puan Maharani.
Kehidupan masa kecil Megawati dilewatkan di Istana Negara. Sejak masa
kanak-kanak, Megawati sudah lincah dan suka main bola bersama saudaranya
Guntur. Sebagai anak gadis, Megawati mempunyai hobi menari dan sering
ditunjukkan di hadapan tamu-tamu negara yang berkunjung ke Istana.
Wanita bernama lengkap Dyah Permata Megawati Soekarnoputri ini memulai
pendidikannya, dari SD hingga SMA di Perguruan Cikini, Jakarta.
Sementara, ia pernah belajar di dua Universitas, yaitu Fakultas
Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) dan Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia (1970-1972). Kendati lahir dari keluarga
politisi jempolan, Mbak Mega -- panggilan akrab para pendukungnya --
tidak terbilang piawai dalam dunia politik. Bahkan, Megawati sempat
dipandang sebelah mata oleh teman dan lawan politiknya. Beliau bahkan
dianggap sebagai pendatang baru dalam kancah politik, yakni baru pada
tahun 1987. Saat itu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menempatkannya
sebagai salah seorang calon legislatif dari daerah pemilihan Jawa
Tengah, untuk mendongkrak suara.
Masuknya Megawati ke kancah politik, berarti beliau telah mengingkari
kesepakatan keluarganya untuk tidak terjun ke dunia politik. Trauma
politik keluarga itu ditabraknya. Megawati tampil menjadi primadona
dalam kampanye PDI, walau tergolong tidak banyak bicara. Ternyata memang
berhasil. Suara untuk PDI naik. Dan beliau pun terpilih menjadi anggota
DPR/MPR. Pada tahun itu pula Megawati terpilih sebagai Ketua DPC PDI
Jakarta Pusat.
Tetapi, kehadiran Mega di gedung DPR/MPR sepertinya tidak terasa.
Tampaknya, Megawati tahu bahwa beliau masih di bawah tekanan. Selain
memang sifatnya pendiam, belaiu pun memilih untuk tidak menonjol
mengingat kondisi politik saat itu. Maka belaiu memilih lebih banyak
melakukan lobi-lobi politik di luar gedung wakil rakyat tersebut. Lobi
politiknya, yang silent operation, itu secara langsung atau tidak
langsung, telah memunculkan terbitnya bintang Mega dalam dunia politik.
Pada tahun 1993 dia terpilih menjadi Ketua Umum DPP PDI. Hal ini sangat
mengagetkan pemerintah pada saat itu.
Proses naiknya Mega ini merupakan cerita menarik pula. Ketika itu,
Konggres PDI di Medan berakhir tanpa menghasilkan keputusan apa-apa.
Pemerintah mendukung Budi Hardjono menggantikan Soerjadi. Lantas,
dilanjutkan dengan menyelenggarakan Kongres Luar Biasa di Surabaya. Pada
kongres ini, nama Mega muncul dan secara telak mengungguli Budi
Hardjono, kandidat yang didukung oleh pemerintah itu. Mega terpilih
sebagai Ketua Umum PDI. Kemudian status Mega sebagai Ketua Umum PDI
dikuatkan lagi oleh Musyawarah Nasional PDI di Jakarta.
Namun pemerintah menolak dan menganggapnya tidak sah. Karena itu, dalam
perjalanan berikutnya, pemerintah mendukung kekuatan mendongkel Mega
sebagai Ketua Umum PDI. Fatimah Ahmad cs, atas dukungan pemerintah,
menyelenggarakan Kongres PDI di Medan pada tahun 1996, untuk menaikkan
kembali Soerjadi. Tetapi Mega tidak mudah ditaklukkan. Karena Mega
dengan tegas menyatakan tidak mengakui Kongres Medan. Mega teguh
menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI yang sah. Kantor DPP PDI di
Jalan Diponegoro, sebagai simbol keberadaan DPP yang sah, dikuasai oleh
pihak Mega. Para pendukung Mega tidak mau surut satu langkah pun. Mereka
tetap berusaha mempertahankan kantor itu.
Soerjadi yang didukung pemerintah pun memberi ancaman akan merebut
secara paksa kantor DPP PDI itu. Ancaman itu kemudian menjadi kenyataan.
Pagi, tanggal 27 Juli 1996 kelompok Soerjadi benar-benar merebut kantor
DPP PDI dari pendukung Mega. Namun, hal itu tidak menyurutkan langkah
Mega. Malah, dia makin memantap langkah mengibarkan perlawanan. Tekanan
politik yang amat telanjang terhadap Mega itu, menundang empati dan
simpati dari masyarakat luas.
Mega terus berjuang. PDI pun menjadi dua. Yakni, PDI pimpinan Megawati
dan PDI pimpinan Soerjadi. Massa PDI lebih berpihak dan mengakui Mega.
Tetapi, pemerintah mengakui Soerjadi sebagai Ketua Umum PDI yang sah.
Akibatnya, PDI pimpinan Mega tidak bisa ikut Pemilu 1997. Setelah rezim
Orde Baru tumbang, PDI Mega berubah nama menjadi PDI Perjuangan. Partai
politik berlambang banteng gemuk dan bermulut putih itu berhasil
memenangkan Pemilu 1999 dengan meraih lebih tiga puluh persen suara.
Kemenangan PDIP itu menempatkan Mega pada posisi paling patut menjadi
presiden dibanding kader partai lainnya. Tetapi ternyata pada SU-MPR
1999, Mega kalah.
Tetapi, posisi kedua tersebut rupanya sebuah tahapan untuk kemudian pada
waktunya memantapkan Mega pada posisi sebagai orang nomor satu di
negeri ini. Sebab kurang dari dua tahun, tepatnya tanggal 23 Juli 2001
anggota MPR secara aklamasi menempatkan Megawati duduk sebagai Presiden
RI ke-5 menggantikan KH Abdurrahman Wahid. Megawati menjadi presiden
hingga 20 Oktober 2003. Setelah habis masa jabatannya, Megawati kembali
mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan presiden langsung
tahun 2004. Namun, beliau gagal untuk kembali menjadi presiden setelah
kalah dari Susilo Bambang Yudhoyono yang akhirnya menjadi Presiden RI
ke-6. (Dari Berbagai Sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar