Menyusul penemuan sebuah kapal kuno, tim Unit Pelaksana Teknis
Dinas Balai Benih Ikan Pantai (UPTD BBIP) Sikakap berupaya menguak
kekayaan bawah laut Kepulauan Mentawai. Banyak artefak dengan nilai jual
tinggi ditemukan. Diperkirakan ada ratusan kapal yang masih terkubur di
sana.
Setelah sekitar tiga jam menerobos gelombang laut setinggi 2 meter dan sempat pula dihajar badai, tiba-tiba Hardimansyah, ketua tim Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Benih Ikan Pantai (UPTD BBIP) Sikakap, Pagai Selatan, Kabupaten Mentawai, yang sejak semula mengutak-atik GPS (global positioning system) di tangannya berteriak keras, “Stop! Koordinat sudah tepat. Sekarang kita sudah berada di atas harta karun. Buang jangkar.
Harta karun yang dimaksud Mak Itam “sapaan akrab Hardimansyah” adalah lokasi kapal yang diperkirakan berasal dari abad ke-16. Tim penyelam BBIP awalnya menemukan pecahan keramik kebiru-biruan berbentuk unik saat bermaksud mengambil data kerusakan terumbu karang akibat gempa dan tsunami yang menerjang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada 26 Oktober 2010.
Empat bulan berjalan, tim penyelam kembali turun ke lokasi penemuan pecahan keramik tersebut. Tim kembali berhasil menemukan beberapa benda kuno. Ternyata, benda-benda antik itu berada di atas kapal tua (satu kapal, bukan dua seperti yang termuat di Jawa Pos edisi 22/6) yang sudah tertimbun di dasar laut. Tak cuma keramik, tim juga menemukan benda kuno lain seperti guci, piring, koin logam, meriam, patung kepala Buddha, dan stempel dari kayu yang bertulisan tahun 1736.
Nah, di lokasi kapal itulah, pada 19 Juni siang lalu, tim BBIP yang beranggota enam orang, termasuk penulis (Padang Ekspres, Jawa Pos Group), kembali melakukan penyelaman untuk mengungkap lebih jauh misteri kapal tersebut. Juga memperkuat dugaan bahwa perairan Mentawai kaya akan harta karun dari kapal-kapal VOC (perusahaan dagang Belanda di era kolonialisme) dan kapal-kapal dagang Eropa yang terkubur dengan berbagai muatan bernilai tinggi.
Lokasi kapal kuno itu sejak dulu memang tidak jauh dari tepi pantai. Tepatnya di sisi kanan Pulau Sibarubaru “sebelah tenggara Pulau Pagai Selatan, pusat pemerintahan Kabupaten Mentawai” yang luasnya sekitar 40 hektare. Kini jaraknya semakin dekat, hanya sekitar 200 meter dari tepi pantai karena terseret gelombang tsunami pada Oktober 2010 yang ketinggiannya mencapai 15 meter.
Sebagian anggota tim pun mulai turun ke kedalaman 12 meter. Lokasi koordinat yang ditunjukkan Mak Itam ternyata benar. Kapal dengan bodi kayu di bawah dasar laut biru itu sudah tampak tidak sempurna lagi. Sebagian bodinya sudah tertimbun tanah dan ditumbuhi karang. Hanya bagian dek atau geladak yang bisa dilihat.
Selama penyelaman, tim terus menyusuri dan mengelilingi lokasi bodi kapal. Suara dentingan martil dengan pahat di dasar laut membuat ikan di sekitarnya berlarian. Dua alat itu digunakan untuk melubangi tanah bercampur karang setebal 40 sentimeter. Itu salah satu cara agar bisa masuk ke dalam bodi kapal.
Di beberapa dek kapal, sudah ada lubang yang bisa dimasuki tangan untuk mengambil benda-benda di dalamnya. Beberapa anggota tim penyelam pun mulai merogoh setiap lubang. Hasilnya, sebagian di antara mereka membawa tulang belulang, pecahan piring, gelang kuningan, koin logam, serta benda mirip piala.
Benda-benda bercampur tanah yang bisa dikumpulkan itu dimasukkan ke ember. Semua temuan tersebut diharapkan bisa membawa petunjuk baru untuk diteliti BBIP. Setelah sekitar 40 menit, tim mengakhiri penyelaman.
Total sejak melakukan penyelaman setahun lalu, tim ekspedisi BBIP berhasil mengumpulkan seratusan benda kuno dalam berbagai ornamen. “Kalau guci ini, setelah saya survei di internet, tanya ke teman-teman, dan dilihat di sejumlah museum, harganya bisa sampai Rp 200 juta,” jelas Mak Itam sembari menunjuk guci yang baru saja didapatkan seorang anggota tim penyelam.
Semua benda yang ditemukan selama ekspedisi disimpan di Kantor BBIP Sikakap. Meski ekspedisi untuk mengeksplorasi kekayaan bawah laut Mentawai itu tak murah, Hardimansyah dan tim tak pernah tergoda untuk melego harta karun tersebut.
“Saya bukannya tidak punya kenalan pengusaha atau orang kaya yang hobi mengoleksi benda antik. Tapi, memang tidak ada niat menjual benda-benda itu,” beber Hardimansyah, yang sudah enam tahun di BBIP.
Namun, komitmen dan kegigihan tim BBIP itu bukan tanpa keluhan. Mereka menyayangkan minimnya respons Jakarta terhadap temuan berharga di Mentawai itu. Mereka pun terpaksa harus mengorek saku masing-masing untuk membiayai ekspedisi. Padahal, dibutuhkan waktu yang tak sebentar untuk memecahkan sejarah misteri kapal kuno itu. Belum lagi minimnya dukungan teknologi modern.
Sejauh ini, tim itu pun belum bisa mengambil kesimpulan apa pun soal temuan tersebut. Apalagi, tak seorang pun di antara mereka yang berlatar belakang arkeologi. “Semua temuan di kapal tadi tidak ada petunjuk baru. Tidak ada angka atau tulisan yang bisa memberikan analisis,” ujar Mak Itam.
Berdasar penelusuran Padang Ekspres di internet, pada 1736-1740 penduduk Barus, khususnya Sorkam dan Korlang, di tanah Batak, Sumatera Utara, berhasil mengusir VOC yang banyak meresahkan warga karena praktik monopolinya. Dalam sejumlah catatan sejarah, disebutkan ratusan kapal VOC lantas meninggalkan wilayah tersebut.
Jika memang perjalanan mereka melintasi pantai barat Sumatera, boleh jadi bukan hanya satu kapal yang tenggelam di sekitar perairan Mentawai, yang dikenal berombak ganas. Melainkan, ada ratusan kapal dengan segudang harta karun.
Sejarawan dari Universitas Andalas, Padang, Gusti Asnan, yang ditemui terpisah, juga mengatakan, pada pertengahan abad ke-16, pantai barat Sumatera memang menjadi jalur pelayaran kapal-kapal dari Eropa, umumnya kapal-kapal pedagang. Tak heran kalau kemudian ditemukan banyak benda niaga perdagangan seperti guci, piring, dan lainnya di bangkai kapal kuno di dasar laut Mentawai tersebut.
“Kuat dugaan saya, kapal kuno itu mutlak milik pedagang negara Eropa dan VOC. Dan saya yakini, bukan hanya satu kapal yang tenggelam, tapi puluhan bangkai kapal lain masih ada di dasar laut pantai barat Sumatera,” jelasnya.
Namun, Gusti -seperti yang juga dikeluhkan tim BBIP- sangat prihatin atas belum adanya respons Jakarta. Padahal, temuan itu jika diangkat dan dianalisis bisa memberikan sumbangan berarti bagi ilmu pengetahuan.
“Nanti kalau sudah dijual dan dibeli dengan negara lain, baru semuanya kebakaran jenggot. Biasanya seperti itu gaya dan lagunya orang Indonesia terhadap benda bersejarah dan kebudayaan,” sindir Gusti.
( ISWANTO J.A., Mentawai) (513)
Setelah sekitar tiga jam menerobos gelombang laut setinggi 2 meter dan sempat pula dihajar badai, tiba-tiba Hardimansyah, ketua tim Unit Pelaksana Teknis Dinas Balai Benih Ikan Pantai (UPTD BBIP) Sikakap, Pagai Selatan, Kabupaten Mentawai, yang sejak semula mengutak-atik GPS (global positioning system) di tangannya berteriak keras, “Stop! Koordinat sudah tepat. Sekarang kita sudah berada di atas harta karun. Buang jangkar.
Harta karun yang dimaksud Mak Itam “sapaan akrab Hardimansyah” adalah lokasi kapal yang diperkirakan berasal dari abad ke-16. Tim penyelam BBIP awalnya menemukan pecahan keramik kebiru-biruan berbentuk unik saat bermaksud mengambil data kerusakan terumbu karang akibat gempa dan tsunami yang menerjang Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pada 26 Oktober 2010.
Empat bulan berjalan, tim penyelam kembali turun ke lokasi penemuan pecahan keramik tersebut. Tim kembali berhasil menemukan beberapa benda kuno. Ternyata, benda-benda antik itu berada di atas kapal tua (satu kapal, bukan dua seperti yang termuat di Jawa Pos edisi 22/6) yang sudah tertimbun di dasar laut. Tak cuma keramik, tim juga menemukan benda kuno lain seperti guci, piring, koin logam, meriam, patung kepala Buddha, dan stempel dari kayu yang bertulisan tahun 1736.
Nah, di lokasi kapal itulah, pada 19 Juni siang lalu, tim BBIP yang beranggota enam orang, termasuk penulis (Padang Ekspres, Jawa Pos Group), kembali melakukan penyelaman untuk mengungkap lebih jauh misteri kapal tersebut. Juga memperkuat dugaan bahwa perairan Mentawai kaya akan harta karun dari kapal-kapal VOC (perusahaan dagang Belanda di era kolonialisme) dan kapal-kapal dagang Eropa yang terkubur dengan berbagai muatan bernilai tinggi.
Lokasi kapal kuno itu sejak dulu memang tidak jauh dari tepi pantai. Tepatnya di sisi kanan Pulau Sibarubaru “sebelah tenggara Pulau Pagai Selatan, pusat pemerintahan Kabupaten Mentawai” yang luasnya sekitar 40 hektare. Kini jaraknya semakin dekat, hanya sekitar 200 meter dari tepi pantai karena terseret gelombang tsunami pada Oktober 2010 yang ketinggiannya mencapai 15 meter.
Sebagian anggota tim pun mulai turun ke kedalaman 12 meter. Lokasi koordinat yang ditunjukkan Mak Itam ternyata benar. Kapal dengan bodi kayu di bawah dasar laut biru itu sudah tampak tidak sempurna lagi. Sebagian bodinya sudah tertimbun tanah dan ditumbuhi karang. Hanya bagian dek atau geladak yang bisa dilihat.
Selama penyelaman, tim terus menyusuri dan mengelilingi lokasi bodi kapal. Suara dentingan martil dengan pahat di dasar laut membuat ikan di sekitarnya berlarian. Dua alat itu digunakan untuk melubangi tanah bercampur karang setebal 40 sentimeter. Itu salah satu cara agar bisa masuk ke dalam bodi kapal.
Di beberapa dek kapal, sudah ada lubang yang bisa dimasuki tangan untuk mengambil benda-benda di dalamnya. Beberapa anggota tim penyelam pun mulai merogoh setiap lubang. Hasilnya, sebagian di antara mereka membawa tulang belulang, pecahan piring, gelang kuningan, koin logam, serta benda mirip piala.
Benda-benda bercampur tanah yang bisa dikumpulkan itu dimasukkan ke ember. Semua temuan tersebut diharapkan bisa membawa petunjuk baru untuk diteliti BBIP. Setelah sekitar 40 menit, tim mengakhiri penyelaman.
Total sejak melakukan penyelaman setahun lalu, tim ekspedisi BBIP berhasil mengumpulkan seratusan benda kuno dalam berbagai ornamen. “Kalau guci ini, setelah saya survei di internet, tanya ke teman-teman, dan dilihat di sejumlah museum, harganya bisa sampai Rp 200 juta,” jelas Mak Itam sembari menunjuk guci yang baru saja didapatkan seorang anggota tim penyelam.
Semua benda yang ditemukan selama ekspedisi disimpan di Kantor BBIP Sikakap. Meski ekspedisi untuk mengeksplorasi kekayaan bawah laut Mentawai itu tak murah, Hardimansyah dan tim tak pernah tergoda untuk melego harta karun tersebut.
“Saya bukannya tidak punya kenalan pengusaha atau orang kaya yang hobi mengoleksi benda antik. Tapi, memang tidak ada niat menjual benda-benda itu,” beber Hardimansyah, yang sudah enam tahun di BBIP.
Namun, komitmen dan kegigihan tim BBIP itu bukan tanpa keluhan. Mereka menyayangkan minimnya respons Jakarta terhadap temuan berharga di Mentawai itu. Mereka pun terpaksa harus mengorek saku masing-masing untuk membiayai ekspedisi. Padahal, dibutuhkan waktu yang tak sebentar untuk memecahkan sejarah misteri kapal kuno itu. Belum lagi minimnya dukungan teknologi modern.
Sejauh ini, tim itu pun belum bisa mengambil kesimpulan apa pun soal temuan tersebut. Apalagi, tak seorang pun di antara mereka yang berlatar belakang arkeologi. “Semua temuan di kapal tadi tidak ada petunjuk baru. Tidak ada angka atau tulisan yang bisa memberikan analisis,” ujar Mak Itam.
Berdasar penelusuran Padang Ekspres di internet, pada 1736-1740 penduduk Barus, khususnya Sorkam dan Korlang, di tanah Batak, Sumatera Utara, berhasil mengusir VOC yang banyak meresahkan warga karena praktik monopolinya. Dalam sejumlah catatan sejarah, disebutkan ratusan kapal VOC lantas meninggalkan wilayah tersebut.
Jika memang perjalanan mereka melintasi pantai barat Sumatera, boleh jadi bukan hanya satu kapal yang tenggelam di sekitar perairan Mentawai, yang dikenal berombak ganas. Melainkan, ada ratusan kapal dengan segudang harta karun.
Sejarawan dari Universitas Andalas, Padang, Gusti Asnan, yang ditemui terpisah, juga mengatakan, pada pertengahan abad ke-16, pantai barat Sumatera memang menjadi jalur pelayaran kapal-kapal dari Eropa, umumnya kapal-kapal pedagang. Tak heran kalau kemudian ditemukan banyak benda niaga perdagangan seperti guci, piring, dan lainnya di bangkai kapal kuno di dasar laut Mentawai tersebut.
“Kuat dugaan saya, kapal kuno itu mutlak milik pedagang negara Eropa dan VOC. Dan saya yakini, bukan hanya satu kapal yang tenggelam, tapi puluhan bangkai kapal lain masih ada di dasar laut pantai barat Sumatera,” jelasnya.
Namun, Gusti -seperti yang juga dikeluhkan tim BBIP- sangat prihatin atas belum adanya respons Jakarta. Padahal, temuan itu jika diangkat dan dianalisis bisa memberikan sumbangan berarti bagi ilmu pengetahuan.
“Nanti kalau sudah dijual dan dibeli dengan negara lain, baru semuanya kebakaran jenggot. Biasanya seperti itu gaya dan lagunya orang Indonesia terhadap benda bersejarah dan kebudayaan,” sindir Gusti.
( ISWANTO J.A., Mentawai) (513)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar