SEBAGIAN besar masyarakat Aceh menjadikan leumang
sebagai menu favorit berbuka puasa. Penganan yang biasa disantap dengan
selai srikaya ini, cukup digemari karena memiliki rasa khas dan gurih.
Leumang
atau dalam bahasa Melayu disebut lemang terbuat dari beras ketan atau
ubi, proses memasaknya, yakni setelah direndam beberapa saat,
selanjutnya dimasukkan ke dalam buluh bambu yang telah disusupi daun
pisang, kemudian diberi santan ke dalam buluh bambu setelah itu panggang
dibara api hingga masak.
Selain memakai selai srikaya, leumang
juga biasa dimakan dengan tapai dan air tebu sehingga dijadikan kudapan
sambil menyeruput kopi di Aceh.
Bagi masyarakat yang tinggal di
pesisir Barat Selatan, membuat leumang selalu dilakukan pada saat
menyambut Ramadan dan Idul Fitri karena ini merupakan tradisi yang
dilakukan secara turun temurun. Bahkan, penganan khas rumpun Melayu ini
termasuk kue paling diminati warga di Serambi Mekkah.
Marwan,
seorang warga Banda Aceh ini mengaku, sering menyantap leumang saat
berbuka puasa. Alasannya leumang lebih mengenyangkan dan menyehatkan
ketimbang menyantap makanan yang mengandung bahan kimia dan pewarna
makanan.
"Saya suka sekali leumang, citarasanya sangat gurih dan
untuk aromanya itu muncul dari daun pisang dan buluh bambu yang
diproses dengan cara dibakar sehingga membuat nafsu selera makan saya
jadi bertambah," sebutnya.
Seiring banyaknya permintaan, penjaja
leumang pun semakin bertaburan apalagi ketika menjelang waktu berbuka
puasa. Pemandangan seperti ini sudah pasti sangat sulit dijumpai selain
bulan suci.
Selain itu, di Banda Aceh, ada satu jenis leumang
paling terkenal, yaitu buatan Hafsanabah (62), dimana dirinya selalu
berjualan demi mengais rejeki di pinggir jalan Syiah Kuala Lamdingin, di
bulan suci ini bisa meraup hingga Rp2,5 juta untuk per-harinya selama
Ramadan. Pendapatannya ini meningkat hingga empat kali lipat dibanding
omset ketika berjualan di hari-hari biasa.
"Selama puasa
omsetnya bisa sampai Rp2,5 juta, rata-rata menghabiskan 35 bambu beras
ketan sehari. Kalau hari-hari biasa hanya menghabiskan delapan bambu
ketan," kata Muhammad Yakob (32) anak Hafsanabah yang sudah sebelas
tahun ikut membantu ibunya membuat leumang.
Jika dilihat, kurang
lebih ada tiga jenis leumang yang dijual Hafsanabah, masing-masing
terbuat dari ketan putih, ketan hitam dan ubi. Harga jualnya berkisar
Rp20 ribu hingga 60 ribu per batang, kesemuanya ini tergantung pada
jenis ukuran atau Rp5.000 per tujuh centimeter.
Leumang buatan
Hafsanabah disukai oleh berbagai kalangan dan usia. Ada pula yang
menjadikan sebagai oleh-oleh. "Orang mau ke Jakarta misalnya, sering
pesan leumang ke sini. Leumang bisa disimpan sampai dua hari," ujar
Yakob.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar