Banyak versi mengenai asal usul sejarah Depok, sebagaimana tertuang
dalam buku Potret Kehidupan Sosial dan Budaya Masyarakat Depok Tempo
Doeloe karya Yano Jonathans. Buku ini menyebutkan bahwa jauh sebelum
tanah di beli Cornelis Chastelein, wilayah ini telah memiliki nama
DEPOK.
Depok bisa dikatakan telah ada jauh sebelumnya, dengan pernah
ditemukannya beberapa benda sejarah di wilayah Depok dan sekitarnya,
yang diduga sebagai peninggalan zaman prasejarah seperti Menhir ‘Gagang
Golok’, Punden Berundak ‘Sumur Bandung’, Kapak Persegi dan Pahat Batu
merupakan peninggalan jaman megalit.
Depok juga bukan merupakan sebuah akronim dari De Eerste Protestantse
Organisatie van Kristenen yang disingkat jadi DEPOK dan memiliki arti
Jemaat Kristen Yang Pertama. Pemberian arti singkatan akronim tersebut
muncul sekitar tahun 1950-an dikalangan masyarakat Depok yang tinggal di
Belanda. Dan masih ada pula ditemukan singkatan dalam bahasa Belanda
Deze Einheid Predikt Ons Kristus (DEPOK), yang artinya persatuan membawa
kami mengenal Kristus. Ini merupakan ungkapan kerinduan Komunitas Orang
Depok di Belanda terhadap negeri kelahirannya dan sanak keluarganya.
Depok juga telah ada pada jaman Kerajaan Padjajaran yang diperintah
seorang Raja yang bergelar Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan yang
lebih dikenal dengan gelar Prabu Siliwangi. Di sepanjang Sungai Ciliwung
terdapat beberapa kerajaan kecil di bawah kerajaan Padjajaran di
antaranya Kerajaan Muara Beres.
Masa kerajaan Islam
Dari Kerajaan Padjajaran hingga Keradenan terbentang benteng yang
sangat kuat sehingga mampu bertahan terhadap serangan pasukan Jayakarta
yang dibantu Demak, Cirebon dan Banten. Sejarah Depok pun di masa
kerajaan Islam di Indonesia menjadi bagian dari sejarah Islam.
Diperkirakan Pengaruh Islam masuk ke Depok sekitar 1527 bersamaan
dengan perlawanan Banten dan Cirebon setelah Jayakarta direbut Verenigde
Oost Indische Compagnie (VOC). al ini dengan ditemukannya senjata kuno
peninggalan Kerajaan Banten antara lain keris, tombak dan golok.
Kemudian Depok memasuki era masa Kolonial Belanda dan masa
Kemerdekaan Indonesia. Tak banyak bisa dijadikan literatur atau panduan
dalam mempelajari sejarah Depok. Bahkan sebelumnya tak ada yang
dituliskan dalam bentuk buku panduan sebagai dasar untuk penulisan dan
sumber bacaan.
Memang sering termuat cerita tentang sejarah Depok dalam liputan
surat kabar yang dituliskan dalam cuplikan-cuplikan saja oleh seorang
sejarahwan maupun peliput berita. Bersyukur pada akhirnya semakin banyak
masyarakat yang perduli akan sejarah Depok, maka mulai melakukan
penelitian dan mencari berbagai sumber, baik itu dari narasumber maupun
dari saksi sejarah yang tersisa dengan menginventarisir aset-aset yang
ada maka lahirlah dua buah buku yang menceritakan tentang Sejarah Depok,
Peristiwa Yang Terjadi di Depok serta Pahlawan dari Depok.
Buku pertama berjudul Potret Kehidupan Sosial Dan Budaya Masyarakat
Depok Tempo Doeloe karya Yano Jonathans. Buku ini menceritakan awal dari
peristiwa yang pernah ada dimulai dari era kolonial Belanda memasuki
wilayah Depok.
Buku ini antara lain berisi tentang Depok Selayang Pandang, munculnya
komunitas ‘Belanda Depok’, kehidupan masyarakat Depok Tempo Dulu,
monumen masyarakat Asli Depok , dari zaman kolonial ke zaman republik
serta beberapa lampiran dan narasumber yang telah diwawancarai dan
diakhiri tentang penulisnya.
Berawal cerita bahwasannya Depok telah ada sebelum kedatangan
Cornelis Chastelein sebagaimana telah diceritakan sebelumnya, tanggal 18
Mei 1696 seorang Pegawai Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC)
bernama Cornelis Chastelein membeli wilayah Depok dari Pemerintah
Belanda.
Cornelis Chastelein adalah anak Anthony Chastelein, seorang Hugenoot
(Protestan Pengikut Calvin) dari Perancis yang melarikan diri dari ke
Belanda akibat pertikaian agama di negerinya. Kemudian menikah dengan
Maria Cruydenier putri Walikota Dordrecht, pasangan ini memiliki 10
anak, di antaranya Cornelis Chastelein yang lahir tanggal 10 Agustus
1657.
Cornelis Chastelein sebagai perintis pembukaan tanah Depok dan
sekitarnya. Ia membeli lahan tersebut pada 18 Mei 1696 untuk lahan
pertanian, ia juga membuka ladang yang dikenal dengan padi huma, ia
membuat pengairan hingga menjadi persawahan, para budak berasal dari
wilayah Indonesia Bagian Timur antara lain Makassar, Bali.
Para pekerja di masa itu dikenal sebagai budak, bekerja dengan setia
dan sangat patuh, karena Cornelis adalah satu dari kaum kolonial yang
memperlakukan kaum pekerja atau budaknya dengan manusiawi, di mana
mereka diajarkan ajaran kristiani seperti yang dianutnya. Dan pengajaran
ini berlanjut hingga keturunannya, rasa
kasih Cornelis kepada para pekerjanya juga diwujudkan dalam hal tata
cara kehidupan yang mana hal ini terlihat dalam surat wasiat Cornelis
Chastelein.
Oleh: Ratu Farah Diba
Penulis adalah Ketua Depok Heritage Community (DHC)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar