Pada tahun 1924-1925, Arab Saudi dipimpin oleh Ibnu Saud, Raja Najed
yang beraliran Wahabi. Aliran ini sangat dominan di tanah Haram,
sehingga aliran lain tidak diberi ruang dan gerak untuk mengerjakan
mazhabnya.
Semasa kepemimpinan Ibnu Saud, terjadi eksodus
besar-besaran ulama dari seluruh dunia. Mereka kembali ke negara
masing-masing, termasuk para pelajar Indonesia yang sedang mencari ilmu
di Arab Saudi.
Aliran Wahabi yang terkenal puritan, berupaya
menjaga kemurnian agara dari musyrik dan bid'ah. Maka beberapa tempat
bersejarah, seperti rumah Nabi Muhammad SAW dan sahabat, termasuk makam
Nabi Muhammad pun hendak dibongkar.
Umat Islam Indonesia yang
berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah merasa sangat perihatin kemudian
mengirimkan utusan menemui Raja Ibnu Saud. Utusan inilah yang kemudian
disebut dengan Komite Hijaz.
Komite Hijaz ini merupakan sebuah
kepanitiaan kecil yang dipimpin oleh KH Abdul Wahab Chasbullah. Setelah
berdiri, Komite Hijaz menemui Raja Ibnu Suud di Hijaz (Saudi Arabia)
untuk menyampaikan beberapa permohonan, seperti meminta Hijaz memberikan
kebebasan kepada umat Islam di Arab untuk melakukan ibadah sesuai
dengan madzhab yang mereka anut.
Karena untuk mengirim utusan
ini diperlukan adanya organisasi yang formal, maka didirikanlah
Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926, yang secara formal mengirimkan
delegasi ke Hijaz untuk menemui Raja Ibnu Saud.
Adapun lima permohonan yang disampaikan oleh Komite Hijaz, seperti ditulis di situs www.nu.or.id tersebut adalah:
Pertama,
memohon diberlakukan kemerdekaan bermazhab di negeri Hijaz pada salah
satu dari mazhab empat, yakni Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Atas
dasar kemerdekaan bermazhab tersebut hendaknya dilakukan giliran antara
imam-imam shalat Jum’at di Masjidil Haram dan hendaknya tidak dilarang
pula masuknya kitab-kitab yang berdasarkan mazhab tersebut di bidang
tasawuf, aqidah maupun fikih ke dalam negeri Hijaz, seperti karangan
Imam Ghazali, imam Sanusi dan lain-lainnya yang sudaha terkenal
kebenarannya.
Kedua, memohon untuk tetap diramaikan
tempat-tempat bersejarah yang terkenal sebab tempat-tempat tersebut
diwaqafkan untuk masjid seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan
bangunan Khaezuran dan lain-lainnya berdasarkan firman Allah "Hanyalah
orang yang meramaikan Masjid Allah orang-orang yang beriman kepada
Allah" dan firman Nya "Dan siapa yang lebih aniaya dari pada orang yang
menghalang-halangi orang lain untuk menyebut nama Allah dalam masjidnya
dan berusaha untuk merobohkannya."
Ketiga, memohon agar
disebarluaskan ke seluruh dunia, setiap tahun sebelum datangnya musim
haji menganai tarif/ketentuan beaya yang harus diserahkan oleh jamaah
haji kepada syaikh dan muthowwif dari mulai Jedah sampai pulang lagi ke
Jedah. Dengan demikian orang yang akan menunaikan ibadah haji dapat
menyediakan perbekalan yang cukup buat pulang-perginya dan agar supaya
mereka tidak dimintai lagi lebih dari ketentuan pemerintah.
Keempat,
memohon agar semua hukum yang berlaku di negeri Hijaz, ditulis dalam
bentuk undang-undang agar tidak terjadi pelanggaran terhadap
undang-undang tersebut.
Kelima, Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU)
memohon balasan surat dari Yang Mulia yang menjelaskan bahwa kedua orang
delegasinya benar-benar menyampaikan surat mandatnya dan
permohonan-permohonan NU kepada Yang Mulia dan hendaknya surat balasan
tersebut diserahkan kepada kedua delegasi tersebut.
Dari
pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Komite Hijaz yang
merupakan respons terhadap perkembangan dunia internasional ini menjadi
faktor terpenting didirikannya oeganisasi NU. Berkat kegigihan para kiai
yang tergabung dalam Komite Hijaz, aspirasi dari umat Islam Indonesia
yang berhaluan Ahlussunnah wal Jamaah diterima oleh raja Ibnu Saud.
Makam Nabi Muhammad yang akan dibongkar pun tidak jadi dihancurkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar