Dulu aku tak tahu apa arti nasionalisme, masih terlalu muda bagiku
untuk memahami bagaimana mencintai negara yang dianggap oleh sebagian
orang sebagai benang kusut. Terlalu banyak pelik masalah yang mendera
hingga terkadang identitas kita sebagai bangsa tergadai dalam harga yang
sangat murah. Dan aku menyaksikan kamu di TV melihat suporter bangsa
yang meyorak sorai nama mu di negeri tetangga, Australia.
Kamu begitu luar biasa ketika pemain Korea Selatan, lawan mu men-smash
setiap shuttle Kok yang kamu arahkan ke mereka. Kamu tak kehabisan
tenaga mengejar kok ke setiap sudut lapangan yang ada demi Indonesia.
Seperti para pahlawan yang dahulu berjuang tanpa memperdulikan nyawa.
Setiap gerakmu membangkitkan asa dan gelora bangsa yang amblas karena
krisis ekonomi, kamu mengajarkan kepada kita bagaimana menaruh
kehormatan bangsa yang ketika itu bangsa ini ditertawakan dunia karena
kerusuhan yang terjadi dimana-mana. Bangsa ini kunjung dicap tak beradab
ketika darah demi darah mengalir oleh saudara sebangsa sendiri.
Gerak lincahmu membuat kita lupa bahwa beras sudah habis di dapur,
terlupa sejenak walau untuk beberapa jam saja. Lupa bagaimana memikirkan
isi perut esok hari. Perjuanganmu pun sudah dianggap memenuhi rasa
lapar dan dahaga kami saat itu.
Aku masih ingat bagaimana doa-doa orang disekelilingku untuk memberikan
tenaga tambahan agar kamu tetap bertahan dilapangan dan merebut emas
olimpiade. Mereka semua mendoakan walau tak mengenalmu dengan baik
disana, mereka sangat berharap banyak kepada kamu dan pasangan ganda
putramu menjadi pemenang di partai final ganda putra olimpiade Sydney.
“Indonesia, Indonesia”, teriakan itu begitu membahana di Sydney Indoor
stadium, meletupkan asa yang bisa menegakkan kehormatan bangsa. Kamu
bagaikan pelipur lara yang mengingatkan bahwa harapan itu ada walau
bangsa terlanjur porak-poranda akan reformasi yang menelan begitu banyak
korban.
Dan ketika smash kencang pasangan gandamu, Chandra Wijaya tak mampu di
kembalikan pemain Korea Selatan, kami melonjak kegirangan, kami
mengetahui itu sebagai tanda kemenangan sudah ditangan, kamu melonjak
kegirangan juga seperti anak-anak yang mendapatkan mainan. Aku walau tak
mengerti arti kemenanganmu ikut senang bersama orang-orang di
sekelilingku.
Tony Gunawan dan Chandra Wijaya naik ke podium sambil diselimuti bendera
merah putih, lagu kebangsaan bangsa Indonesia dikumandangkan di negeri
orang, di negeri yang sudah merusak integrasi negara kami, ya, kamu
menitikkan air mata ketika merah putih ditempatkan tertinggi di Sydney.
Entahlah aku tak mengerti kenapa kamu begitu terharu padahal asal usul
mu sering tak dapat diterima oleh bangsa mu sendiri saat itu.
Setahun kemudian aku ingat ketika kamu pergi ke negeri seberang untuk
belajar, melintas samudera dan batas negara, Kamu berkata akan kembali
setelah mengenalkan bulu tangkis di negeri tempat kamu menuntut ilmu,
Amerika Serikat.
Waktu berlalu sampai aku tahu kamu belum pensiun dan akan kembali ke
Olmpiade. Aku begitu senang berarti peluang medali emas lewat cabang
bulu tangkis tetap terbuka bagi Indonesia. Walau umur mu tak lagi muda
tapi pengalamanmu meraih medali emas bisa ditularkan kepada junior mu.
Sampai akhirnya tanggal 27 Juli 2012 di upacara pembukaan Olimpiade, aku
melihatmu berdefile bersama atlet lain tapi dengan latar bendera dan
lagu kebangsaan yang telah beda dan berubah.
Ya, Tony Gunawan Pahlawan emas Bulutangkis ganda putra Olimpiade Sydney
kini Atlet Amerika Serikat. Selamat Bertanding, semoga air matamu tak
tumpah ketika lagu kebangsaan Indonesia berkumandang lagi disana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar