Kisah Syekh Yusuf, Pahlawan Nasional Penyebar Islam di AfSel
Foto: Khairul (detikcom) Cape Town – Di puncak bukit Macassar, Cape Town, Afrika Selatan (Afsel), makam Syekh Yusuf yang berkubah warna hijau kerap dikunjungi umat Islam, terutama dari Indonesia. Makam ini jadi titik tolak kisah penyebaran Islam di Afsel hingga sekarang.
Peziarah yang datang memang tidak setiap hari, namun rutin setiap bulan. Mereka umumnya ingin tahu lebih banyak tentang kiprah perjuangan yang dilakukan Syekh Yusuf dalam menyebarkan Islam.
Di komplek makam itu, tak banyak kisah yang bisa diperoleh. Hanya ada satu tonggak monumen yang menjelaskan tentang bagaimana Syekh Yusuf bisa sampai di Cape Town, Afrika Selatan. Namun versi lisan yang lengkap bisa diperoleh dari Adam Philander, imam Masjid Nurul Latief, masjid yang berjarak beberapa meter dari komplek makam Syekh Yusuf.
“Syekh Yusuf dibuang Belanda karena perlawanannya terhadap Belanda sewaktu di Banten. Penyebaran agama yang dilakukannya, tidak lepas dari pemahaman tentang Islam yang diperolehnya dari belajar di banyak tempat,” kata Adam di komplek makam tersebut dalam obrolan dengan detikcom, Rabu (12/10/2011).
Pada usia 18 tahun dia meninggalkan Makasar menuju Banten, setelah itu dia ke Aceh, dan seterusnya ke Yaman, dan kemudian ke Madinah dan Mekkah, lalu ke Damaskus, Suriah lalu ke Istanbul, Turki. Setelah 23 tahun belajar seluruh tempat itu, sosok yang dikenal dengan nama lengkap Syekh Yusuf Taj al Khalwaty Al Makassary itu kembali ke Makasar pada tahun 1668 dan pergi ke Banten pada tahun 1671.
Ada catatan yang menyebut dia langsung ke Banten tak singgah ke Makasar. Di Banten, dia menikah dengan salah satu anak Sultan Ageng Tirtayasa. Kemudian anak sultan, yakni Abdul Kahar melakukan perebutan tahta dengan bantuan Belanda. Seterusnya sultan ditangkap dan Yusuf bergerilya di Banten.
Selama masa gerilya itu, dia tetap menyebarkan Islam dan dikenal dengan nama Maulana Yusuf. Namun akhirnya tertangkap. Seterusnya dia beserta pengikutnya dibuang ke Srilanka pada 22 Maret 1684, dalam usia 58 tahun. Di sini dia tetap berdakwah, dan juga menulis beberapa buku.
Belanda kemudian mengasingkannya lagi ke ke tempat yang lebih jauh pada Juli 1693. Dengan menggunakan kapal De Voetboog, Yusuf beserta 49 pengikutnya dibawa ke Zandvliet, yang sekarang bagian dari wilayah Cape Town, Afrika Selatan. Tetapi hanya lima tahun di pengasingan ini, dia wafat pada 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Lalu dimakamkan di kawasan yang sekarang disebut Macassar, sekitar 35 kilometer dari pusat kota Cape Town.
Ketika Syekh Yusuf wafat di Cape Town, kabar itu kemudian disampaikan Belanda kepada keluarga Sultan Banten dan Raja Gowa. Kedua kerajaan itu meminta agar jenazahnya dikirimkan dari Afrika Selatan, namun permintaan itu ditolak Belanda. Kemudian pada tahun 1704 Raja Gowa Abdul Jalil kembali meminta Belanda mengirimkan kerangka jenazah ke Gowa, dan kali ini disetujui. Ada catatan yang menyebutkan kerangka jenazah tiba Gowa pada 5 April 1705 dan turut serta juga dalam perjalanan itu keluarganya selama masa pembuangan.
Ihwal jenazah yang dikirimkan ke Gowa itu, masih juga diragukan. Keturunan Indonesia yang berada di Cape Town, tetap yakin jenazahnya masih ada di Cape Town. Komplek makamnya terus dibina, dan tiga Presiden Indonesia juga datang ke sini, yakni Presiden Soeharto, Presiden Megawati Soekarnoputri, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.
“Ada beberapa tempat yang diyakini sebagai makam Syekh Yusuf, tapi kami percaya makam itu di sini,” kata Adam.
Terkait dengan makam yang ada di Gowa, bisa jadi Belanda memang mengirimkan jenazahnya ke Sulawesi Selatan. Namun bisa jadi juga yang dikirimkan hanyalah bagian kuku dan rambutnya.
Semua spekulasi itu masih ada sampai sekarang, termasuk spekulasi yang menyebut keberadaan makam Syekh Yusuf di Srilanka dan Banten. Yang pasti di Macassar, Afrika Selatan, masih ada makamnya yang bisa menjadi jalan untuk terus mempelajari jejak perjuangan Syekh Yusuf yang telah diangkat menjadi pahlwan nasional Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar